Wednesday, 2 January 2019

Jadi Berilmu Abjad Dan Faktor Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak Usia Dini


Perkembangan sosial-emosional berdasarkan para ahli, bertujuan untuk mengetahui diri sendiri dan bekerjasama dengan orang lain yaitu sahabat sebaya dan orang dewasa, bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan berperilaku sesuai dengan sikap prososial. Perkembangan sosial, sebagaimana dikatakan Muhibbin (1999:35), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.

Adapun Hurlock menyampaikan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Untuk menjadi individu yang bisa bermasyarakat dibutuhkan tiga proses sosialisasi. Ketiga proses tersebut nampak terpisah, tetapi bahu-membahu saling berhubungan:

  1. belajar untuk bertingkah laris dengan cara yang sanggup diterima masyarakat
  2. belajar memainkan tugas sosial yang ada di masyarakat
  3. mengembangkan sikap atau tingkah laris sosial terhadap individu lain dan kegiatan sosial yang ada di masyarakat (Hurlock:250).

Fase-fase perkembangan sosial emosional anak usia dini


1. Fase Pembentukan Dasar Kepercayaan vs Tidak Percaya (0-12-18 Bulan)


Dalam fase ini anak mengalami krisis pertama dalam kehidupannya.Krisis ini menyangkut krisis kepercayaan terhadap lingkungan. Perawatan yang diberikan pada bayi merupakan prasyarat untuk timbulnya percaya dalam diri bayi tewrhadap lingkungannya.

Untuk membangun dasar kepercayaan tersebut maka pemenuhan kebutuhan bayi perlu dilakukan secara teratur. Misalnya : kebutuhab terhadap makanan, kebersihan (mandi, ganti, dan sebagainya. Di samping itu dibutuhkan juga cara-cara penanganan dalam merawat bayi. Perawatan ini haruslah menjadikan rasa aman dan rasa terlindungi pada bayi. Hal tersebut merupakan faktor penentu untuk timbulnya rasa percaya dalam diri bayi. Apabila bayi tidak memperoleh perawatan yang demikian maka yang tumbuh dalam diri bayi yakni rasa tidak percaya atau curiga.

2. Fase Autonomi vs Malu dan ragu-ragu (18 bulan -3 tahun)


Bermodalkan rasa percaya dan sejalan dengan perkembangan baik fisik, kognitif dan bahasa, anak mulai mengeksplorasi lingkungannya. Ia bergerak kesana-kemari. Pada masa ini anak mencicipi kebebasannya. Seiring dengan hal itu berkembang pula krisis tahap ke dua dalam diri anak. Rasa aib ini merupakan awal dari kepekaan anak terhadap sesuatu yang salah dan yang benar. Oleh alasannya yakni itu tugas orang bau tanah sangat penting dalam mengarahkan perkembangan psikososial anak berkembang dengan baik.

Kontrol yang terlalu ketat menimbulkan autonomi anak tidak berkembang. Sebaliknya kontrol yang terlalu longgar menimbulkan autonomi anak kurang peka terhadap mana yang salah dan mana yang benar.

3. Fase inisiatif vs Merasa Bersalah (3-6 tahun)


Pada tahap ini krisis yang terjadi dalam diri anak yakni antara inisiatif dan melaksanakan inisiatif tersebut, dan rasa bersalah untuk melaksanakan apa yang ingin dilakukan oleh anak. Oleh alasannya yakni itu anak perlu berguru mengendalikan perasaan ini. Salah satu cara yang sanggup dilakukan yakni dengan jalan menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Di samping itu anak masih perlu mencicipi kebebasannya. Apabila perkembangan rasa besalah melebihi perkembangan inisiatif anak maka anak akan menjadi anak yang tidak sanggup mengespresikan keperibadiannya lantaran takut diangap salah. Anakakan diliputi rasa ragu-ragu.

Bertitik tolak dari pendapat para hebat tersebut di atas maka sanggup diketahui bahwa perkembangan psikososial merupakan suatu bentuk perkembangan yang bersifat kumulatif. Hal ini berarti bahwa perkembangan psikososial pada tahap awal akan mensugesti perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya. Oleh alasannya yakni itu apabila terjadi kendala dalam perkembangan dalam perkebangan psikososial pada tahap awal maka keadaan ini akan mensugesti perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya.

Perkembangan sosialisasi pada anak ditandai dengan kemampuan anak untuk mengikuti keadaan dengan lingkungan, menjalin pertemanan yang melibatkan emosi, pikiran, dan perilakunya. Perkembangan sosialisasi anak yakni proses dimana anak mengembangkan keterampilan interpersonalnya, berguru menjalin persahabatan, meningkatkan pemahamannya perihal orang di luar dirinya, dan juga berguru kebijaksanaan sehat susila dan perilaku.

Perkembangan sosial emosional melibatkan pemahaman yang mendalam perihal diri sendiri dan orang lain. Feeney (et.al) menyatakan bahwa perkembangan sosial emosional mencakup; kompetensi sosial (kemampuan dalam menjalin kekerabatan dalam kelompok sosial), kemampuan sosial (perilaku yang dipakai dalam situasi sosial), kognisi sosial (pemahaman terhadap pemahaman, tujuan, dan sikap diri sendiri dan orang lain), sikap sosial (kesediaan untuk berbagi, membantu, bekerjasama, merasa nyaman dan aman, dan mendukung orang lain), serta penguasaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas (perkembangan dalam menentukan standar baik dan buruk, kemampuan untuk mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan orang lain).

Sosialisasi yakni suatu proses mental dan tingkah laris yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri. Sosialisasi merupakan proses dimana anak berguru untuk berperilaku sesuai dengan keinginan budaya dimana anak dibesarkan. Sebagaimana Manning menyatakan "socialization is the process by which children learn to be have in acceptable manner, as defined by culture of which the family is apart". Sementara itu Drever mengemukakan pengertian sosialisasi sebagai suatu proses dimana individu mengikuti keadaan dengan lingkungan sosial dan menjadi dikenali, dan bekerjasama dengan anggota kelompok tersebut.

Ada beberapa faktor yang mensugesti kemampuan anak dalam bersosialisasi, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan sekolah, (3) lingkungan kelompok masyarakat, (4) faktor dari dalam diri anak.

Proses sosialisasi membutuhkan 3 (tiga) keterampilan khusus, yiatu: (1) proses imitasi, (2) proses identifikasi, dan (3) proses internalisasi. Proses imitasi yakni proses dimana anak berguru menggandakan sikap yang sanggup ditterima secara sosial. Anak melhat secara eksklusif sikap orang lain yang dijadikan contoh/model. Proses identifikasi yakni terjadinya efek sosial pada anak, dimana anak ingin menjadi menyerupai orang lain yang dicontoh. Proses internalisasi yakni proses penanaman serta perembesan nilai-nilai. Dalam proses ini dibutuhkan pemahaman anak untuk membedakan nilai-nilai sosial yang baik dan buruk. Proses sosialisai juga diawali dengan adanya proses pengamatan terhadap sikap orang lain.

Bandura mengemukakan tahapan atau fase yang dilalui individu dalam mengamati sikap tertentu, yaitu; (1) memperhatikan (attention), (2) menyimpan (retention), (3) mereproduksi (reproduction), dan (4) motivasi (motivation).

Menurut Erikson, masa kanak-kanak merupakan citra awal individu sebagai seorang manusia, dimana prola sikap dan sikap yang diperoleh anak, akan menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak selanjutnya. Pada anak usia 4-5 tahun sangat bahagia menggandakan pembicaraan maupun tindakan orang lain. Menurutnya, tahapan perkembangan psikososial pada anak pra sekolah yakni tahapan inisiatif atau prakarsa versus rasa bersalah. Pada tahap ini anak terlihat aktif dan mulai bermain serta menjalin komunikasi dengan belum dewasa lain. Anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan memperlihatkan perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin.

Ciri-ciri perkembangan sosial berdasarkan Steinberg (1995), Hughes (1995) dan Piaget (1996) adalah: (1) menentukan sahabat yang sejenis, (2) cenderung lebih percaya pada sahabat sebaya, (3) agresivitas lebih meningkat, (4) bahagia bergabung dalam kelompok, (5) memahami keberadaan bersama kelompok, (6) berpartisipasi dengan pekerjaan orang dewasa, (7) berguru membina persahabatan dengan orang lain, dan (8) memperlihatkan rasa setia kawan.

Dalam kaitannya dengan perkembangan emosi pada anak usia dini, terdapat 3 (tiga) pola dasar emosi yang timbul pada anak, yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger, and love). Emosi sanggup berubah bukan hanya disebabkan lantaran adanya perubahan perasaan, tetapi juga lantaran kondisi lingkungan yang dialami anak. Rasa takut sanggup timbul lantaran adanya peristiwa yang mendadak atau tidak terduga, dimana anak perlu menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa murka biasa muncul pada belum dewasa untuk menarik perhatian orang lain. Rasa bahagia merupakan bentuk emosi yang memperlihatkan kegembiraan atau keriangan yang sanggup disertai dengan ekspresi tawa, senyum sebagai tanda relaksasi tubuh.

Karakteristik perkembangan emosi pada anak usia dini


  1. Emosi anak berlangsung singkat
  2. Emosi anak bersifat intense
  3. Emosi anak bersifat temporer
  4. Emosi anak muncul cukup sering
  5. Respon emosi anak bermacam-macam
  6. Emosi anak sanggup dideteksi dengan melihat tanda-tanda perilakunya
  7. Kekuatan emosi anak sanggup berubah
  8. Ekspresi emosi anak sanggup berubah

Menurut Piaget, anak berada pada tahap perkembangan kognitif pra-operasional (2-7 tahun) ditendai dengan egosentrisme yang kuat, gagasan imajinatif, bertindak berdasarkan pemikiran intuitif atau tidak berdasarkan pemikiran yang rasional. Menurut Kroh, bahwa emosi anak usia 4-5 tahun berada pada masa kegoncangan atau biasa disebut sebagai trotz period. Pada masa ini muncul tanda-tanda kenakalan yang umum terjadi pada anak, menyerupai menentang pada orang tua, memakai kata-kata kasar, dengan sengaja melanggar hal yang tidak boleh dan sebagainya.

Karakteristik perkembangan emosi anak usia 5-6 tahun


  1. Memiliki keinginan untuk menyenangkan hati teman
  2. Sudah lebih bisa mengikuti aturan
  3. Sudah lebih berdikari di satu sisi, namun juga memperlihatkan ketergantungan di sisi lain
  4. Sudah lebih bisa membaca situasi
  5. Mulai bisa menahan tangis dan kekecewaan
  6. Mulai sabar menunggu giliran
  7. Menunjukkan kasih sayang terhadap saudara maupun teman
  8. Menaruh minat pada kegiatan orang dewasa

Faktor-faktor yang mensugesti perkembangan emosi anak


  1. Kematangan
  2. Belajar: penyesuaian dan contoh
  3. Inteligensi
  4. Jenis kelamin
  5. Status ekonomi
  6. Kondisi fisik
  7. Posisi anak dalam keluarga

Untuk mengembangkan kemampuan sosial dan emosi pada anak, maka pendidik mempunyai tugas yang sangat penting. Di antara tugas pendidik tersebut adalah:

a. Memberikan aneka macam stimulasi pada anak


Pendidik perlu memperlihatkan stimulasi edukatif pada anak supaya kemampuan sosial emosi anak berkembang sesuai tahapan usianya. Kegiatan berguru melalui permainan sanggup dioptimalkan dengan cara menstimulasi anak misalnya; mengajak anak terlibat dalam permainan kelompok kecil, melatih anak bermain bergiliran, mengajak anak menceritakan pengalamannya di depan kelas, melatih kesadaran anak untuk menyebarkan dalam kegiatan kemanusiaan bila terjadi bencana, dan sebagainya.

b. Menciptakan lingkungan yang kondusif


Pendidik perlu mengelola kelas yang memungkinkan anak mengembangkan kemampuan sosial emosinya terutama kesadaran anak untuk bertanggungjawab terhadap benda dan tidakan yang dilakukannya. Lingkungan ini berupa fisik dan psikis. Lingkungan fisik menekankan pada ruang kelas sebagai daerah anak berlatih kecakapan sosial emosinya. Sedangkan lingkungan psikis lebih ditekankan pada suasana lingkungan penuh cinta kasih sehingga merasa nyaman dan aman di kelas.

c. Memberikan contoh


Pendidik yakni pola konkrit bagi anak. Segala tindakan dan tutur kata pendidik anak diikuti oleh anak. Oleh lantaran itu pendidik seharusnya sanggup menjaga sikap sesuai dengan norma sosial dan nilai agama, menyerupai menghargai pendapat anak, bersedia menyimak keluh kesah anak, membangun sikap positif anak, berempati terhadap problem yang dihadapi anak, dan sebagainya.

d. Memberikan kebanggaan atas perjuangan yang dilakukan anak


Pendidik sebaiknya tidak sungkan memperlihatkan kebanggaan terhadap kecakapan sosial yang sudah dilakukan oleh anak secara proporsional. Pujian sanggup diberikan secara mulut maupun non lisan. Misalnya dengan kata-kata yang menyenangkan, atau dengan senyuman, pelukan, dan sumbangan tanda-tanda terentu yang bermakna untuk anak.

Dalam proses pembelajaran, aneka macam acara sanggup dikembangkan oleh pendidik supaya sanggup meningkatkan sosialisasi dan emosi anak. Di antara acara yang sanggup dikembangkan adalah:

  1. Memberikan pilihan pada anak
  2. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya
  3. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi lingkungan
  4. Mendorong anak untuk bekerja secara mandiri
  5. Menghargai ide/gagasan anak
  6. Membimbing anak untuk melaksanakan pemecahan masalah

No comments:

Post a Comment