Sunday, 24 February 2019

Jadi Pintar Resiko Atau Ancaman Orang Banyak Hutang Dalam Syariat Islam


Resiko atau Bahaya Orang Banyak Hutang Dalam Syariat Islam. Orang yang hidup dengan banyak persoalan yakni orang yang wajar, orang hidup tanpa persoalan yakni justru orang yang bermasalah. Pernyataan tersebut memang benar, namun tidak sepenuhnya benar. Karena orang hidup dengan terlalu banyak persoalan yakni orang yang patut dikasihani. Salah satu permasalahan yang sangat mayoritas dalam hidup ini yakni persoalan keuangan, lebih spesifik lagi yakni persoalan hutang. Begitu rumitnya persoalan hutang ini, sehingga hingga mati pun kita akan terus dikejar-kejar olehnya.

Hidup di dunia modern nyaris berhimpit dengan utang. Bahkan, untuk sebagian orang, utang menjadi gaya hidup. Orang bisa dikatakan maju jikalau bisa berutang. Semakin banyak utang, semakin tinggi status sosialnya. Orang kian dimanja dengan utang. Sekaligus ditipu dan dijatuhkan dengan utang. Na’uzdubillah min dzalik!

Seorang mukmin yakni insan yang tidak tertutup kemungkinan tergiring dalam teladan hidup menyerupai itu. Bisa banyak alasannya yakni yang menyebabkan utang begitu dekat. Bahkan, menjadi incaran. Mungkin, persoalan kemampuan ekonomi sehingga utang menjadi pilihan terakhir.

Masalahnya, mampukah seorang mukmin mengendalikan utang dalam kematangan dirinya. Utang beredar dalam batasan sarana yang hanya sebagai salah satu pilihan. Bukan sebagai tujuan. Jika utang menjadi tujuan, ia akan mengendalikan diri seseorang sehingga terpuruk dalam jurang kehancuran.
Betapa utang punya nilai ancaman yang lebih dahsyat daripada sebuah senjata yang mematikan. Bisa lebih ganas dari binatang buas mana pun. Di antara bahaya yang mengiringi belitan hutang pada seseorang adalah:

1. Membuat diri menjadi hina


Harga diri seorang mukmin begitu tinggi. Tak seorang pun yang bisa merendahkannya. Karena, mukmin punya keterikatan dengan Dzat Yang Maha Tinggi dan Agung. Dan, seorang mukmin yang meninggal dunia demi mempertahankan kemuliaan itu, ganjarannya yakni surga.
Namun, kemuliaan itu kadang memudar manakala ada cacat dalam diri seorang mukmin. Di antara cacat itu yakni ketidakberdayaan membayar utang. Saat itu juga, terselip dalam diri seorang mukmin itu perasaan rendah. Bahkan, hina. Bayang-bayang ketidakmampuan itu menyebabkan dirinya tak lagi berdaya di hadapan orang lain. Terutama, orang yang memberi utang. Ia tak lagi bisa menangkis marah, celaan, bahkan somasi aturan sekali pun.

2. Praktis berdusta


Dusta yakni sesuatu yang tak mungkin dilakukan seorang mukmin. Rasulullah saw menyampaikan seorang mukmin mungkin saja bermaksiat. Tapi, ia tak mungkin berdusta.
Lain halnya ketika utang sudah mengepung. Mau bayar tak ada uang. Mau menghindar terlanjur janji. Akhirnya, ada satu pilihan aman. Dan pilihan itu yakni berdusta. “Besok, ya!” Atau, “Oh iya. Saya lupa!” Itulah ungkapan-ungkapan yang kerap keluar tanpa lagi terkendali. Suatu saat, ucapan bohong itu menjadi biasa. Dan, orang-orang pun menunjukkan cap pada kita bukan hanya sebagai pengutang. Melainkan, juga sebagai pembohong. Nau’dzubillah!
Pernah para sahabat bertanya kenapa Rasulullah begitu banyak berdoa supaya terhindar dari utang. Beliau saw bersabda, “Sesungguhnya jikalau seseorang terlilit utang ia akan berbicara kemudian berdusta, dan berjanji kemudian mengingkari.” (Mutafaq ‘alaih)

3. Memutuskan hubungan silaturahim


Seorang mukmin dengan mukmin lainnya memang menyerupai satu tubuh. Satu anggota badan sakit, yang lain pun ikut sakit. Tapi, ada satu hal yang menciptakan badan itu menjadi cerai berai. Tak ada satu hal yang paling rawan bisa menceraiberaikan keutuhan badan itu kecuali persoalan uang. Dan di antara persoalan uang itu yakni utang.

Tiba-tiba, seorang saudara menjadi gila dengan saudara lainnya disebabkan lantaran utang. Muncullah sesuatu yang sebelumnya tak mungkin ada. Ada rasa benci, marah, bahkan permusuhan. Terbanglah perasaan simpati, cinta, dan rindu layaknya seorang mukmin dengan saudara seakidahnya. Persaudaraan yang begitu sulit dan usang terbina, bisa terhapus hanya dengan satu masalah: utang.

4. Terjebak tindak kriminal


Pada tingkat tertentu, utang bisa menjerumuskan seorang mukmin pada tindakan yang sama sekali di luar perkiraannya. Sama sekali tak pernah tersirat kalau ia akan tega melaksanakan tindakan yang lebih buruk. Mungkin, di sinilah setan menuai sukses atas langkah-langkahnya.

Orang yang sudah dikendalikan utang tidak lagi merasa ragu melaksanakan tindak kriminal. Di antaranya, penipuan dan pencurian. Bayang-bayang hitam ihwal utangnya menyebabkan pandangan nuraninya menjadi keruh. Bahkan, gelap sama sekali. Tak ada satu tindakan yang lebih mendominasi dirinya kecuali bayar utang, dengan cara apa pun. Atau, tindakan yang tidak kalah parah: lari dari utang dengan cara apa pun.

Pada tingkatan ini, seorang mukmin mengalami kemerosotan kualitas diri yang luar biasa. Kejujurannya hilang, kemuliaannya sebagai mukmin menguap entah kemana, cahaya imannya pun kian redup. Dan, kenikmatan hidup tak lagi terasa. Bumi Allah yang begitu luas terasa sempit dan menyesakkan.

5. Meninggalkan beban kepada andal waris


Alangkah berat sedih anggota keluarga yang ditinggal pergi ayah atau ibu selamanya. Mereka begitu kehilangan seorang yang amat dicintai. Bahkan, seseorang yang menjadi andalan ekonomi keluarga.
Penderitaan pun kian berat manakala mereka tahu kalau almarhum mewariskan utang. Bagi mereka, tidak ada tawar menawar, kecuali membayar utang. Masalahnya, mampukah mereka membayar? Atau, utang menjadi warisan turunan.

6. Tertunda masuk surga


Ternyata, ancaman utang tidak melulu dalam wilayah dunia. Di darul abadi pun, para pengutang akan menerima cela yang tidak mengenakkan. Rasulullah saw pernah menasihati para sahaba soal ini. Beliau bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di tanganNya, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi dan terbunuh lagi, kemudian hidup lagi dan terbunuh lagi sedangkan ada tanggungan utang padanya maka ia tidak akan masuk nirwana hingga melunasi utangnya." (Nasai, Ath-Thabrani, Al-Hakim).

Demikianlah artikel ihwal bahaya orang banyak hutang, semoga bermanfaat...

No comments:

Post a Comment