Syarat Wajib Puasa ialah harus islam, aqil baligh, bisa dan menetap. Selanjutnya kita simak yuk pembahasan berikut ini:
1. Islam
Dengan demikian orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha' (mengganti) begitulah berdasarkan jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam memilih apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatar belakangi mereka dalam hal ini ialah alasannya ialah adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak.
Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama beropini bahwa mereka tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk melaksanakan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melaksanakan puasa). Makara berdasarkan pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara berdasarkan pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat.
Maka kalau ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa semenjak ketika itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada orang kafir bahwa kalau mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu" (QS. Al Anfal:38).
2 & 3. Aqil dan Baligh (berakal dan melewati masa pubertas)
Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang abnormal (tidak berakal) dan orang mabuk, alasannya ialah mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist:
"Seseorang tidak termasuk mukallaf pada ketika sebelum baligh, hilang ingatan dan dalan keadaan tidur".
4 & 5, Mampu dan Menetap
Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian (tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha'-nya.
Syarat-syarat tersebut di atas menerima perhiasan satu syarat lagi dari Ulama Hanafiyah menjadi syarat yang ke-6 yaitu: Mengetahui kewajiban puasa (semisal bagi orang yang memeluk Islam di negara non muslim).
Syarat Sahnya Puasa
- Menurut ulama Hanafiyah ada 3:
- Niat
- Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
- Tidak ada yang membatalkannya
- Menurut ulama Malikiyah ada 4:
- Niat
- Suci dari haid dan nifas
- Islam
- Pada waktunya dan juga disyaratkan orang yang berpuasa berakal.
- Menurut ulama Syafi'iyah ada 4:
- Islam
- Berakal
- Suci dari haid dan nifas sepanjang hari
- Dilaksanakan pada waktunya. (Sedangkan "niat", berdasarkan Syafi'iyah, dimasukkan ke rukun puasa).
- Menurut ulama Hambaliyah ada 3:
- Islam
- Niat
- Suci dari haid dan nifas
Sebagai catatan lebih lanjut bahwa:
Definisi Niat ; Keyakinan hati dan kehendak untuk melaksanakan suatu perbuatan tanpa keragu-raguan.
Apakah niat itu termasuk syarat atau rukun?
Pada dasarnya ulama setuju bahwa, niat wajib dilakukan dalam setiap ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya". Dan dalam riwayat 'Aisyah, bekerjsama Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa tidak berniat puasa pada malam hari maka puasanya dianggap tidak sah." Menurut mazhab selain Syafi'iyah: "Niat" ialah syarat, alasannya ialah puasa dan ibadah lainnya merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba dengan tulus hanya alasannya ialah Allah semata. Keikhalasn disini tidak bisa terwujud kecuali dengan niat. Adapun pelaksanaan "Niat" harus dilakukan di hati tidak cukup mengucapkan di verbal saja.
Syarat bersuci jinabah (mandi junub)
Ulama setuju bahwa, orang yang hendak berpuasa tidak diwajibkan untuk bersuci jinabah pada malam hari, alasannya ialah tidak menutup kemungkkinan hal-hal yang mewajibkan mandi junub (seperti bersenggama, mimpi basah, haidh dan nifas) terjadi pada pagi hari. Sebagaimana HR. Aisyah dan Ummu Salmah bahwa: Rasulullah saw. mandi junub (karena jima') pada pagi hari kemudian dia berpuasa. Maka barang siapa mandi junub pada pagi hari atau seseorang perempuan belum bersuci dari haid (atau nifas) dipagi harinya tetap boleh berpuasa dan dianggap sah.
Kapan Niat Puasa Dilakukan?
Dalam hal niat puasa wajib (jenis apa saja), para ulama banyak sekali mazhab setuju bahwa niat harus dilaksanakan pada malam hari. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Sayidah 'Aisyah: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak sah puasanya".
Lain halnya puasa sunnat, waktu berniat tidak harus malam hari, tapi bisa dilakukan sehabis terbit fajar hingga sebelum tergelincirnya matahari (waktu Dzuhur) dengan syarat ia belum makan/minum sedikitpun semenjak Subuh. Bahkan ulama mazhab Hambali, untuk puasa sunat, membolehkan berniat sehabis waktu Dzuhur.
Kembali ke persoalan, seandainya lupa berniat pada malam hari atau tertidur, bolehkah melaksanakan niat sehabis terbit fajar atau pagi harinya?
Untuk lebih detailnya, marilah kita ikuti banyak sekali pendapat berikut ini:
Pendapat mazhab Hanafiyah : Lebih baik bila niat puasa (apa saja) dilakukan bersamaan dengan terbitnya fajar, alasannya ialah ketika terbit fajar merupakan awal ibadah. Jika dilaksanakan sehabis terbitnya fajar, untuk semua jenis puasa wajib yang sifatnya menjadi tanggungan/hutang (seperti puasa qadla, puasa kafarat, puasa dikarenakan telah melaksanakan haji tamattu' dan qiran sebagai gantinya denda/dam, dll) maka tidak sah puasanya.
Karena, berdasarkan mazhab ini, puasa-puasa jenis ini niatnya harus dilakukan pada malam hari. Tapi lain dengan puasa wajib yang hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, menyerupai puasa Ramadhan, nadzar, dan pusa-puasa sunnah yang tidak dikerjakan dengan sempurna, maka boleh saja niatnya dilakukan sehabis fajar hingga sebelum Dhuhur.
Mazhab Malikiyah : Niat dianggap sah, untuk semua jenis puasa, bila dilakukan pada malam hari atau bersamaan dengan terbitnya fajar. Adapun apabila seseorang berniat sebelum terbenamnya matahari pada hari sebelumnya atau berniat sebelum tergelincirnya matahari pada hari ia berpuasa maka puasanya tidak sah walaupun puasa sunnah.
Mazhab Syafi'iyah : Untuk semua jenis puasa wajib (baik yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu menyerupai puasa Ramadlan; yang sifatnya menjadi tanggungan menyerupai qadla', nazar, kafarat, dll.) niat harus dilakukan pada malam hari. Adapun puasa sunnnah, niat bisa dilakukan semenjak malam hari hingga sebelum tergelincirnya matahari. Karena Nabi saw. suatu hari berkata pada 'Aisyah: 'Apakah kau memiliki makanan?'. Jawab 'Aisyah: 'Tidak punya'. Terus Nabi bilang: 'Kalau begitu saya puasa'. Lantas 'Aisyah mengisahkan bahwa Nabi pada hari yang lain berkata kepadanya: 'Adakah sesuatu yang bisa dimakan?'. Jawab 'Aisyah: 'Ada'. Lantas Nabi berkata: 'Kalau begitu saya tak berpuasa, meskipun saya telah berniat puasa'.
Mazhab Hambaliyah : Tidak beda dari Syafi'iyah, mazhab ini mengharuskan niat dilakukan pada malam hari, untuk semupa jenis puasa wajib. Adapun puasa sunnah, berbeda dari Syafi'iyah, niat bisa dilakukan walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan syarat belum makan/minum sedikitpun semenjak fajar)
Hal-hal Yang Membatalkan Puasa Yang Hanya Mewajibkan Qadla
Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam: yang mewajibkan qadla' saja (tidak kafarat), dan ada yang mengharuskan qadla' dan kafarat. Kali ini, kita akan menampilkan yang pertama, yang mewajibkan qadla' saja, berdasarkan 4 mazhab besar : Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah.
Madzhab Hanafiyah
Hal-hal yang membatalkan puasa, dalam mazhab Hanafiyah ini terbagi ke dalam 3 kelompok besar.
Pertama, memakan/menelan/meminum sesuatu yang tidak selayaknya ia makan. Masuk dalam kelompok ini ialah hal-hal berikut:
- memakan beras mentah.
- makan gabungan tepung yang tidak dimasak.
- menelan obat-obatan (tanpa maksud yang jelas).
- Memakan buah yang belum masak.
- Memakan sisa-sisa masakan di verbal sebesar kacang Arab (sama dengan setengahnya kacang tanah).
- Memakan garam banyak dengan sekali telan juga mewajibkan qadla' (tidak kafarat), berbeda kalau menelannya sedikit-sedikit, maka selain qadla' puasa ia juga wajib membayar kafarat.
- Memakan biji-bijian.
- Memakan/menelan kapas, kertas atau kulit, kerikil, besi, debu, batu, uang kertas/perak atau sejenisnya.
- Memasukkan air atau obat ke dalam tubuh dengan cara menyuntukkan melalui lubang kemalvan, hidung, atau tenggorokan.
- Meneteskan minyak ke dalam indera pendengaran (bukan air, alasannya ialah air tidak bisa meresap lebih jauh ke dalam).
- Masuknya air hujan atau salju ke dalam tenggorokan tanpa sengaja, dan dia tidak menelannya.
Sengaja muntah-muntah, atau mengeluarkan muntah dengan paksa lantas ditelankannya kembali, kalau muntahannya itu memenuhi mulut; atau walaupun tidak hingga memenuhi verbal namun yang kembali tertelan minimal menyamai biji kacang Arab, sementara dia sadar bahwa dia puasa. Namun kalau muntahan itu terjadi dengan tanpa sengaja; atau kalaupun muntah secara disengaja namun muntahannya tidak memenuhi mulutnya; atau ketika muntah dia lupa bahwa dia sedang puasa; atau muntahannya itu berupa lendir, tidak makanan; maka puasanya tidak batal. Ini berdasar hadis "Barang siapa muntah dengan tanpa sengaja maka dia tidak wajib mengqadla, namun kalau sengaja muntah-muntah maka diwajibkan mengqadla'".
Jenis kedua ialah memakan/meminum/menelan makan-makanan atau obat-obatan alasannya ialah ada udzur, baik itu berupa penyakit, dipaksa, memakan/meminum/menelan secara keliru, atau alasannya ialah menyepelekan, atau alasannya ialah samar. Masuk dalam kategori ini ialah hal-hal berikut ini:
- Masuknya air kumur ke dalam perut secara tak sengaja.
- Berobat dengan cara membedah tubuh bab kepala atau perut, lantas obat yang dimasukkan mencapai otak atau perut.
- Orang tidur yang dimasuki air ke dalam tubuhnya dengan sengaja.
- Orang perempuan yang membatalkan puasanya dengan alasan khawatir sakit alasannya ialah melaksanakan suatu pekerjaan.
- Makan atau bersenggama secara syubhat/samar, sehabis ia melaksanakan hal itu (makan atau senggama) alasannya ialah lupa.
- Makan sehabis ia berniat puasa pada siang hari.
- Seorang musafir (orang yang bepergian) yang makan ketika niat puasanya dilakukan pada malam hari sehabis ia memutuskan untuk menetap (mukim) di daerah ia berada.
- Makan/minum/senggama pada ketika fajar telah terbit, namun ia ragu apakah fajar telah terbit.
- Makan/minum/senggama pada ketika matahari belum terbenam, namun ia menyangka bahwa matahari telah terbenam (telah maghrib)
Catatan ; Seorang yang makan atau melaksanakan hubvngan tubuh semenjak sebelum terbitnya fajar, kemudian fajar terbit, maka kalau ia pribadi menghentikannya atau memuntahkan masakan yang ada di mulutnya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.
Sebelum pindah madzhab baca dulu ATURANNYA
Jenis ketiga ialah pelampiasan nafsu seks/birahi secara tak sempurna. Masuk dalam kategori ini ialah hal-hal berikut:
- Keluarnya m@ni dikarenakan berhubvngan tubuh dengan jenazah atau hewan atau anak kecil yang belum menjadikan syahwat.
- Keluarnya m@ni alasannya ialah berpelukan atau laga paha.
- Keluarnya m@ni alasannya ialah civman atau rabaan.
- Perempuan yang disetvbuh! ketika ia tertidur.
- Perempuan yang menetesi kemaluannya dengan minyak.
- Memasukkan jari yang dibasahi dengan minyak atau air kedalam anus, lantas air atau minyak itu masuk ke dalam.
- Bercebok sehingga ada air yang masuk ke dalam melalui anus.
- Memasukkan sesuatu hingga karam seluruhnya (kapas, kain, atau jarum suntik, dll) ke dalam anus.(Jika tidak karam seluruhnya, maka tidak membatalkan puasa)
- Perempuan yang memasukkan jarinya yang dibasahi dengan minyak atau air ke dalam vaginanya bab dalam.
Madzhab Malikiyah
Dalam mazhab ini, hal-hal yang mewajibkan qadla' (tanpa kafarat) ada 3 kategori berikut ini:
Membatalkan puasa-puasa fardlu (seperti qadla' Ramadlan, puasa kafarat, puasa nadzar yang tidak tertentu, puasanya orang yang haji tamattu' dan qiraan yang tidak membayar denda). Adapun puasa nadzar yang ditentukan, semisal bernadzar puasa hari/beberapa hari/bulan tertentu, kalau dia membatalkan puasanya itu alasannya ialah udzur menyerupai haidl, nifas, ayan, gila, sakit, dll, maka ia tak wajib mengqadla'. Namun kalau uzdurnya sudah hilang sementara apa yang dinadzarkannya masih tersisa, maka ia wajib melaksanakan puasa pada hari yang tersisa itu.
Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa Ramadhan, selama syarat-syarat wajibnya kafarat tak terpenuhi. Seperti batalnya puasa alasannya ialah udzur menyerupai sakit; atau alasannya ialah udzur yang menghilangkan dosa menyerupai lupa, kesalahan, keterpaksaan; batalnya puasa alasannya ialah keluarnya madzi atau m@ni alasannya ialah melamun/melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menjadikan syahwat), dengan tanpa berlebihan, namun kebiasaannya keluar m@ni pada ketika berhenti dari tindakan itu. Singkatnya, semua puasa wajib yang dibatalkannya wajib baginya mengqadla, kecuali puasa nadzar tertentu yang dibatalkannya alasannya ialah udzur.
Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa-puasa sunat. Karena berdasarkan mazhab ini, melaksanakan suatu ibadah sunat, hukumnya wajib melakukannya hingga sempurna. Jika dibatalkan secara sengaja maka harus mengqadlanya, dan kalau tanpa kalau batalnya alasannya ialah udzur tidak wajib mengqadlanya.
Kesimpulannya, seseorang yang membatalkan puasa (semua jenis puasa) dengan sengaja maka ia wajib mengqadlanya, dan tidak wajib membayar kafarat kecuali pada puasa Ramadhan saja. Dan barang siapa yang batal puasanya (jenis apa saja) alasannya ialah lupa, wajib baginya mengqadla (tidak kafarat), kecuali pada puasa sunat (tidak wajib qadla' tidak pula kafarat).
Adapun hal-hal yang bisa membatalkan puasa, dalam mazhab ini, ada 5 hal:
- Bersenggama yang mewajibkan mandi.
- Keluarnya m@ni atau madzi alasannya ialah civman, belaian, dan melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menjadikan syahwat) dan itu dilakukannya dengan sengaja dan terus-terusan.
- Muntah-muntah secara sengaja, baik muntahannya itu memenuhi verbal atau tidak. Namun kalau muntah itu terjadi secara tak sengaja maka tak membatalkan puasanya, kecuali kalau ada muntahannya yang kembali masuk ke perut walau tak sengaja (maka batal puasanya).
- Sampainya sesuatu yang cair ke tenggorokan melalui mulut, hidung, atau telinga, baik itu secara sengaja, lupa, kesalahan, atau keterpaksaan. Seperti air kumur atau ketika gosok gigi. Masuk dalam kategori aturan cairan ini juga, dupa dan kemenyan kalau dihirup kuat-kuat sehingga masuk ke tenggorokan, asap yang diketahui (seperti rokok-pent), bercelak dan berminyak rambut pada siang hari kalau rasanya hingga ke tenggorokan, kalau tidak hingga ke tenggorokan tidak membatalkan puasa. Sebagaimana ia tak membatalkan puasa, kalau hal itu dilakukannya pada malam hari).
- Sampainya sesuatu ke pencernaan, baik zat cair atau tidak, melalui mulut, hidung, mata atau pangkal rambut, baik masuknya dengan disengaja, keliru, lupa atau terlanjur. Adapun suntikan pada lobang kelamin pria tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya mengkorek-korek lubang telinga, juga menelan sisa-sisa masakan yang masih melekat di antara gigi-gigi tidak membatalkan puasa, meskipun itu dilakukan dengan sengaja.
Demikian pula masuknya segala sesuatu, baik berupa cairan atau tidak, ke dalam pencernaan melalui lubang-lubang (menuju dalam tubuh) yang berada di atas perut, baik lubang tersebut lebar atau sempit, membatalkan puasa dan wajib mengqadlanya. Beda dengan sesuatu yang masuk melalui lubang bawah (perut), ia gres dianggap membatalkan puasa kalau lubang bawah itu lebar (seperti lubang anus dan kelamin perempuan), dan barang yang masuk itu berupa zat cair (tidak benda yang keras).
Singkatnya, qadla' itu wajib bagi orang yang membatalkan puasa-puasa wajib, baik itu dilakukannya dengan sengaja, lupa, keterpaksaan; baik pembatalannya itu haram, boleh, atau wajib menyerupai orang yang membatalkan puasanya alasannya ialah kekhawatirannya akan sesuatu yang fatal (jika ia puasa); baik abolisi itu juga mewajibkan kafarat atau tidak; baik puasa fardhu itu orisinil atau puasa nadzar.
No comments:
Post a Comment