Tuesday, 1 October 2019
Jadi Berakal Selektif Dalam Bermadzhab Biar Tidak Salah Jalan Dalam Islam
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti contoh bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang iktikad dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian ibarat dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Namun demikian contoh bermadzhab ini tidak jarang disalah pahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka, dikala seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100 % dari A hingga Z. Tentu saja langkah ibarat ini tidak sempurna dan tidak ada dalam budi beragama. Dalam sebuah obrolan terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi menyampaikan kepada kami, “Kalau Anda memang mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam al-Syafi’i sendiri beropini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan hingga kepada mayit.” Demikian somasi orang Wahhabi tadi terhadap kami. Dalam mengikuti contoh bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, contohnya lebih banyak didominasi umat Islam Indonesia mengikuti madzhab al-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam al-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat ia 100 % mulai dari A hingga Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i mengajarkan semoga kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas. Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam banyak persoalan menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab al-Syafi’i sendiri, para ulama setuju bahwa dikala terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), ialah hasil ijtihad ia dikala masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), ialah hasil ijtihad ia sesudah tinggal di Mesir di selesai hayatnya, harus mengikuti qaul jadid sesuai dengan pesan al-Imam al-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 persoalan para ulama kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, sebab sesudah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih berpengaruh dalilnya dalam 12 persoalan tersebut. Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab ia dalam ijtihad yang kita pandang benar dan berpengaruh dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat terkenal dari al-Imam al-Syafi’i, bahwa ia berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak hingga kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya, beropini bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an hingga kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh sebab itu, siapapun tidak sanggup menggugat pengikut madzhab al-Syafi’i yang melaksanakan tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih berpengaruh dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam al-Syafi’i hanya beropini bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang tidak hingga kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, ibarat selamatan (sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam al-Syafi’i beropini sampai. Oleh sebab itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari, berdasarkan al-Syafi’i pahalanya sanggup hingga kepada mayit.
Demikian artikel Seleksi dalam bermadzhab, semoga manfaat!!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment