Batas awal safar (bepergian) yaitu suatu batas dimana jikalau seseorang telah melalui batas ini sudah dinamakan musafir (orang yang bepergian), sehingga boleh melaksanakan jamak atau qashar apabila memenuhi syarat-syaratnya.
Batas awal safar ini berbeda-beda meninjau keadaan kawasan pemukiman yang ditempati oleh orang yang akan bepergian. Keadaan kawasan pemukiman tersebut antara lain :
- Orang yang bertempat tinggal di kawasan yang padat bangunan (baik pedesaan atau perkotaan) apabila tempat itu mempunyai batas, baik berbentuk tugu atau yang lain, maka awal safarnya yaitu dengan melalui batas tempat tersebut, apabila tempat tersebut tidak mempunyai batas sama sekali, atau ada batasnya namun tujuan perjalanan si musafir tidak melalui batas tersebut (sebagaimana batas desanya ada di sebelah barat sedangkan tujuan perjalanannya kearah timur), maka batas awal safarnya yaitu dengan melalui simpulan bangunan yang di nisbatkan pada tempat tersebut.
- Bagi orang yang bertempat tinggal disuatu tempat yang tidak terdapat rumah atau bangunan, ibarat dihutan atau padang pasir, maka awal safarnya yaitu dengan meninggalkan tempat dimana ia membisu berdasarkan ‘uruf (kebiasaan)nya.
Dua poin diatas merupakan ketentuan bagi musafir yang melaksanakan perjalanan darat. Sekarang apabila yang ditempuh perjalanan laut, ibarat orang tang tinggalnya di pesisir, maka batas awal safarnya yaitu dengan berangkatnya bahtera yang ditumpangi.
Batas Akhir Safar
Batas simpulan safar yaitu suatu batas dimana seseorang yang bepergian sudah tidak dikatakan musafir lagi, sehingga tidak diperbolehkan melaksanakan jamak dan qashar, lantaran masa perjalanannya dianggap sudah habis.
Ketentuan batas simpulan safar yang mengakibatkan tidak diperbolehkannya musafir melaksanakan rukhshah qashar maupun jamak dibagi menjadi beberapa bab sebagaimana berikut :
- Musafir telah hingga pada batas tempat tinggalnya walaupun hanya sekedar lewat atau tidak memasukinya.
- Musafir telah hingga pada batas desa lain, dimana ia sebelumnya sudah ada niat untuk bermukim ditempat tersebut.
- Musafir telah hingga dibatas desa lain dimana sebelumnya ia sudah tahu bahwa ia akan menetap di desa tersebut selama 4 hari 4 malam atau lebih.
- Niat kembali / pulang ke desanya, baik ada hajat atau tidak atau niat kembali ketempat lain selain desanya, sedangkan si musafir tidak mempunyai keperluan ketempat lain tersebut atau ada kebimbangan dihati musafir , apakah ia pulang atau tidak.
Perjalanan sanggup dikatakan berakhir sehingga tidak diperbolehkan melaksanakan jamak dan qashar apabila memenuhi tiga syarat berikut :
- Ketika niat, musafir dalam keadaan membisu (tidak sedang berjalan), apabila timbulnya niat saat si musafir sedang berjalan, ibarat sedang naik bus atau kendaraan yang lain, maka niat ini tidak besar lengan berkuasa terhadap kelangsungan safar.
- Perjalanannya belum hingga pada tempat yang dituju.
- Musafir tidak berstatus sebagai pengikut (independen, atau bepergian berdasarkan kehendaknya dan mempunyai tujuan sendiri)
Contoh : pak gufron yaitu orang yang berdomisili di desa tlanakan pamekasan. Suatu hari ia ingin pergi ke kota Surabaya, ternyata sesudah hingga di bangkalan, ia memutuskan untuk kembali ke tlanakan.
Pada pola ini , sesudah pak gufron memutuskan untuk kembali ke tlanakan, secara otomatis perjalanannya dianggap berakhir, lantaran sudah memenuhi tiga syarat diatas.
Sekarang apabila niat pulang tadi ternyata digagalkan dan si musafir meneruskan perjalanannya ke Surabaya. Maka hitungan safar dimulai dari bangkalan bukan dari tlanakan. Dengan artian, apabila jarak antara bangkalan dengan Surabaya tidak mencapai masafatul qashri (jarak yang memperbolehkan meng-qashar shalat), ia tidak diperbolehkan melaksanakan jamak-qashar.
No comments:
Post a Comment