Monday 30 September 2019
Jadi Berilmu Mengobati Penyakit Cinta Ketenaran Bab 2
Mengobati Penyakit Cinta Ketenaran Bagian 2. Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian niscaya akan melemparkan tanah di kepalaku, saya sungguh berangan-angan semoga Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan saya dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382). Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian kalimat ini ialah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi sebab tersohornya seseorang mungkin terjadi jikalau orang tersebut mempunyai kelebihan diantara manusia, bahkan sanggup jadi orang-orang mengagungkannya, sanggup jadi orang-orang memujinya, sanggup jadi mereka mengikutinya berjalan di belakangnya.
Seseorang jikalau semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Oleh sebab tidaklah suatu hal yang mengherankan jikalau Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia ialah orang yang terbaik dari umat ini dari para sobat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang keyakinan Abu Bakar dibanding dengan keyakinan umat maka akan lebih berat keyakinan Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di final sholatnya, “Robku, sesungguhnya saya telah banyak mendzolimi diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah saya dengan pengampunanMu”.
Yang mewasiatkan ialah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan yang diwasiatkan ialah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Robnya maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, sebab ia mengetahui hak-hak Allah sehingga beliau mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk dosa.
Diantara insan ada yang merupakan qori’ Al-Qur’an dan tersohor sebab keindahan suaranya, keindahan bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara insan ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya.
Diantara mereka ada yang menjadi da’i yang populer dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya sebab Allah telah memberi petunjuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang populer dengan sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat gampang menggelincirkan seseorang, oleh sebab itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi setiap orang yang mempunyai pengikut…
Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan dirinya diantara insan dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin naik derajatnya di hadapan insan namun semoga semakin terangkat derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, sebab diantara insan ada yang merendahkan dirinya di hadapan insan namun semoga tersohor dan ini ialah termasuk (tipuan) syaitan.
Dan diantara insan ada yang merendahkan dirinya di hadapan insan dan Allah mengetahui hatinya bekerjsama ia benar dengan sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka tidak sanggup menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.
Ini ialah pelajaran yang berharga bagi setiap yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu bahwa orang yang diikutinya itu dihentikan diagungkan, namun hanyalah diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, sebab yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun insan yang lain maka jikalau mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan bangun di hadapan Allah, ingat bekerjsama ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di belakangnya.
Oleh sebab itu tatkala Abu Bakar dipuji di hadapan insan maka ia berkutbah sehabis itu dan riwayat ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya Allah jadikanlah saya lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan insan bekerjsama ia mempunyai dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya.
Apakah hal ini sebagaimana yang kita lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi semoga diagungkan dirinya??, orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sobat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang ujub dengan dirinya -dan beliau ialah seorang khalifah, orang kedua yang dikabarkan dengan masuk nirwana sehabis Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya besar.
Diantara kesalahan-kesalahan ialah sifat ujub (takjub dengan diri sendiri), yaitu seseorang memandang dirinya waw (hebat). Ada diantara salafus shalih yang jikalau hendak memberikan suatu (mau’idzoh) dan jikalau ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut, kenapa?, sebab keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan jiwa orang lain, sebab ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul dan ia menyadari bahwa dirinya mulai mencicipi bahwa dirinya bahagia sebab kehadiran mereka, yang pada membisu memperhatikannya, dan memperhatikannya, maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun membicarakannya akhir hal tersebut, Namun yang paling penting ialah keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan keselamatan hati orang lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud).
Riya itu samar
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bekerjsama riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melaksanakan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bekerjsama ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa aib kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bekerjsama selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama ialah sebab pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri kemudian mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya saya sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, kemudian Fudhail berkata kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan hingga majelis kita ini ialah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah menentukan perkataanmu yang terbaik kemudian engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah menentukan perkataanku yang terbaik kemudian saya sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk saya dan saya pun telah berhias untukmu”, kemudian Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan saya semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beruntung yang memperhatikan gerak-gerik hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya. Terlalu banyak orang yang lalai dari hal ini kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang kebaikan-kebaikan mereka pada hari final zaman menjadi kejelekan-kejelekan, dan mereka itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Dan (jelaslah) bagi mereka akhir buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48). “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfy: 104).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment