Friday, 13 September 2019
Jadi Cerdik Jadikan Pendidikan Itu Yang Memerdekakan
Jadikan Pendidikan Itu Yang Memerdekakan. Seorang siswa umur 18 tahun menginginkan masuk ke fakultas seni alasannya merupakan bidang yang ia inginkan. Namun alasannya "tekanan" dari pihak sekolah yang menyampaikan bahwa kalau ia tidak mengambil kesempatan itu, pihak sekolah akan menanggung akibatnya. Ya, di tahun berikutnya nanti, adik-adik kelasnya tidak akan menerima kesempatan masuk lewat jalur seruan ini. Dan "Tekanan" dari orang renta yang menjadi pengacara papan atas. Si orang renta memegang prinsip dari peribahasa usang bahwa "buah apel tidak jatuh jauh dari pohonnya."
Dari "Tekanan" tersebut akhirnya ia masuk ke fakultas hukum. Baru dua semester ia menjalani studinya itu, ia memutuskan untuk keluar dan pindah ke jurusan seni yang bahwasanya bidang yang benar-benar ia inginkan.
Ada juga siswi yang juga berusia 18 tahun diterima di fakultas ekonomi jurusan administrasi salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) terkenal. Tapi, akhirnya ia menentukan masuk ke sekolah tinggi swasta yang relatif gres dan mengkhususkan diri pada bidang studi kewirausahaan. Dia mengambil keputusan itu alasannya memang punya impian besar lengan berkuasa menjadi seorang pengusaha. Keputusan itu diambil walaupun harus diiringi tangis sang ibu dan muka masam sang ayah. Kedua orang tuanya menganggap bahwa menentukan sekolah tinggi ketimbang Perguruan Tinggi Negeri ternama yaitu keputusan bodoh! Ya, keputusan yang bodoh!
Sadarkah kita, berapa banyak orang renta yang merayakan keberhasilan anaknya meraih nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi? Berapa banyak orang renta merayakan keberhasilan anaknya diterima di universitas favorit? Tapi, coba bandingkan, berapa banyak orang renta mau merayakan anaknya yang masuk sekolah kejuruan atau merayakan anaknya yang memutuskan masuk jurusan arkeologi, padahal sang ibu yaitu dosen fakultas teknik?
Sejak 1945 kita, orang Indonesia, memang sudah merdeka. Kita memang sudah berdiri semenjak 1908. Tapi, apakah pendidikan kita kini sudah sanggup dikategorikan sebagai pendidikan yang memerdekakan. Apakah terasa bahwa pendidikan kita ketika ini yaitu yang membangkitkan bawah umur bangsa? Anak-anak kita?
Jujur saja. Saat ini masih banyak siswa yang tidak merdeka dalam mengeksplorasi minat mereka, mengeksplorasi sesuatu yang berbeda hanya alasannya dibatasi oleh norma-norma yang menyampaikan bahwa "Kalau bukan jurusan eksakta, maka kau tidak termasuk anak cerdas. Kalau tidak lulus UN, maka klaar hidupmu!". Dan menjadi tontonan rutin di televisi ketika para siswa mulai SD hingga Sekolah Menengan Atas menangis sesenggukan pada ketika doa bersama menjelang UN, alasannya UN begitu disakralkan. UN dianggap sebagai momok, kesulitan dan bahaya , meski tahun ini hal itu sudah mulai berubah.
Anggapan sehabis lulus S-1, maka si anak harus S-2 dan sehabis itu S-3 sudah menjadi suatu hal lumrah. Banyak para lulusan S-1, ketika ditanya alasannya meneruskan ke jenjang S-2, maka sebagian besar menjawab, "Karena saya sudah lulus S-1!". Bahkan, untuk lulusan S-2, kalau ditanya alasanya meneruskan ke jenjang S-3, maka jawabannya adalah, "Karena saya sudah lulus S-2!".
Rasanya, tidak banyak orang menyadari bahwa ada tanggung jawab akademis yang diemban seseorang anak sehabis meraih gelar doktor. Karena, gelar doktor seharusnya bukan sekedar untuk mempercantik CV, bukan semata untuk kepentingan nyaleg, apalagi nyapres!. Pendidikan kita ketika ini memang masih bersifat normatif. Bahkan, pendidikan agama yang seharusnya sarat muatan eksploratif dan analitis, akhirnya hanya bersifat dogmatis dan normatif. Bagaimana mungkin tingkat ketakwaan hanya diukur dari sisi knowledge, dan bukan penerapan nilai-nilai agama itu sendiri?
Cobalah memberi kuliah atau seminar di universitas-universitas di negeri ini. Coba kita amati barisan dingklik yang manakah yang terisi terlebih dahulu? Coba kita amati, apakah kita eksklusif dibombardir dengan pertanyaan sehabis selesai presentasi? hehe... Entah mengapa, mulai forum-forum seminar di hotel berbintang, hingga kuliah umum di universitas ternama, dingklik gugusan paling belakanglah yang selalu terisi lebih dulu. Lalu, entah mengapa, siswa gres berani bertanya kalau sudah ada yang bertanya lebih dulu. Mereka takut salah, takut pertanyaannya dianggap tidak berkualitas, yang dalam bahasa anak zaman kini disebut culun punya alias cupu, sehingga memborgol pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mungkin sudah ada di benak mereka. Buntu!
Sebaliknya, banyak dosen di universitas-universitas di luar negeri mengeluhkan minimnya keaktifan mahasiswa Indonesia dalam bertanya atau berpendapat, apalagi berdebat di ruang kuliah. Padahal, justru melalui hal itulah dinamika pencarian ilmu dan proses pencerahan berlangsung. Kalau siswa masih menganggap UN sebagai momok, kalau siswa masih menganggap juara olimpiade sains lebih bergengsi dibandingkan juara lomba drama, bila profesi PNS atau bekerja di perusahaan multi nasional dianggap lebih fancy daripada punya gerai ayam goreng yang dibangun dan dikelola sendiri, rasanya pendidikan kita malah justru mengkerdilkan dan bukan memerdekakan bangsa ini.
Pendidikan seharusnya memberi kemerdekaan untuk menginterpretasikan keinginan, ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan norma. Pendidikan yang memerdekakan seharusnya memberi ruang untuk siswa berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi,dan mengambil risiko. Pendidikan yang memerdekakan akan bermuara pada kebangkitan!
Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka beruntung sanggup belajar dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide absurd dan nyeleneh. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan yaitu buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik.
Semakin terbukanya dunia, maka siswa semakin dituntut mempunyai mental eksploratif, kreatif dan kritis. Bagaimana mungkin kita sanggup unggul di tingkat global dan regional, kalau contoh pendidikan kita masih terkukung oleh pendidikan kognitif semata, yang tidak membangkitkan sisi rasa dan humanisme?
Allah SWT bersabda: "Sesungguhnya Aku hendak menyebabkan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menyebabkan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kau ketahui." (QS Al Baqarah :30). Tuhan tentu punya misi khusus bagi manusia. Tuhan membuat insan menjadi alat-Nya untuk menyatakan Kuasa-Nya yang masih Dia sembunyikan dalam alam ini. Manusia dibutuhkan sanggup membongkar diam-diam semesta. Rahasia kebesaran Allah SWT. Karena itulah, insan dijadikan "khalifah". Di situlah letak kemuliaan kita sebagai mahluk-Nya.
Dengan prinsip itulah, sekali lagi, harusnya kita sadar bahwa pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan bukanlah pendidikan kerdil yang menghasilkan insan berkarakter Firaun dan berkarakter iblis, yang terus menerus merusak bumi dan isinya. Pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan yaitu pendidikan yang melahirkan para khalifah, para prabu, yaitu manusia-manusia matang dan unggul, bukan manusia-manusia cupu!
Labels:
Pendidikan,
SDM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment